Oleh Hendry Noer
Fadlillah
Sumber gambar |
Dahulu, mendengar nama jamu disebutkan, penulis
selalu mengidentikkannya dengan rasa pahit.
Selain itu, karena bentuknya yang cair, rasa pahit itu menempel lebih lama di indera pengecap. Oleh karenanya, ketika itu penulis lebih memilih obat atau suplemen dalam bentuk kapsul atau tablet. Apalagi, tablet penurun panas untuk anak sudah ada yang berasa manis. Lebih praktis dan enak, daripada harus meminum perasan labu atau kunyit yang "berasa" aneh. Kalaupun harus meminum jamu, paling penulis memilih beras kencur, yang rasanya masih lebih bersahabat. Itupun, juga karena dengan segera dinetralkan oleh minuman gula merah yang biasa tersedia di Mbak Yu penjual jamu keliling.
Sumber gambar |
Namun,
seiring dengan perkembangan jaman, ternyata persepsi terhadap jamu mulai
berubah. Dan penulis merasakan, bahwa
secara global-pun banyak kalangan yang mulai "menghormati" jamu. Hal ini tidak lain, dengan semakin
berkembangnya tren Go Natural, termasuk dalam pengobatan. Banyak kalangan yang mulai beralih dengan
pengobatan yang lebih alami. Tidak aneh,
jika kemudian obat-obat tradisional atau secara tradisional disebut sebagai traditional
medicine, menjadi alternatif yang banyak dicari. Korea
dan China adalah contoh negara
yang cukup baik memanfaatkan traditional medicine-nya. Walau harus diakui, masih banyak masalah
terkait dengan adulteration (pemalsuan) dan standardisasi. Sebab, hal yang sama juga banyak terjadi pada
obat-obat modern. Dalam hal ini,
Pemerintah perlu memperketat pengawasan dan perijinan untuk meminimalkan
peredaran obat tradisional yang tidak jelas keamanan dan asal usulnya, termasuk
pengaturan komposisi dan klaim khasiatnya.
Saintifikasi jamu
Tren
Go Natural, tidak lepas dengan kekhawatiran terhadap keamanan manfaat
bahan-bahan sintetik. Walau didukung
dengan studi ilmiah, namun tetap saja banyak kalangan yang
"mewaspadai" keberadaannya.
Apalagi tidak sedikit yang beranggapan, bahwa studi ilmiah memiliki
keterbatasan, yang pada suatu saat bisa memberikan hasil berbeda.
Sedangkan bahan alami masih dianggap lebih
aman. Apalagi jika penggunaannya telah
turun temurun dan terlihat tidak memberikan efek negatif. Sehingga kemudian dikenallah ingridien yang
tergolong dalam GRAS, Generally Recognized as Safe. Namun demikian perlu disadari, bahwa tidak
semua yang alami adalah aman. Dalam hal
ini, bahan alami pun perlu didukung fakta dan studi ilmiah untuk lebih
memastikan keamanan dan khasiatnya.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 033/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Pelayanan
Berbasis Kesehatan juga telah menyadari pentingnya dukungan bukti ilmiah untuk
obat tradisional, dalam hal ini jamu.
Dalam peraturan tersebut, saintifikasi jamu didefinisikan sebagai
pembuktian ilmiah melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Tujuan saintifikasi jamu adalah untuk 1)
memberikan landasan ilmiah; 2) mendorong terbentuknya jejaring dokter dan
tenaga kesehatan dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan
paliatif melalui penggunaan jamu; 3) meningkatkan kegiatan penelitian
kualitatif terhadap pasien dengan menggunakan jamu; dan 4) meningkatkan
penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah dan
dimanfaatkan secara luas. Sehingga
diharapkan, jamu yang beredar dapat memenuhi kriteria aman, dengan klaim
kesehatan terbukti, dan memenuhi persyaratan mutu.
Sumber gambar |
Namun demikian, upaya saintifikasi jamu memerlukan
komitmen yang tinggi dari para stakeholder terkait, mulai dari pemerintah, hingga
peneliti dan tenaga kesehatan. Selain
itu, perlu ada upaya promosi dan sosialisasi mengenai keunggulan jamu dengan
menunjukkan bukti-bukti ilmiah yang telah dihasilkan. Promosi yang dilakukan hendaknya bukan
sekedar iklan layanan masyarakat, tetapi lebih daripada itu. Bentuk iklan yang ditampilkan perusahaan
farmasi terhadap obat-obat modern dapat menjadi contoh untuk menunjukkan nilai
lebih jamu. Hal ini telah dilakukan oleh
beberapa industri jamu nasional, dan hasilnya bisa terlihat. Rakyat Indonesia mulai terbiasa menggunakan
produk tersebut. Salah satu tag line nya
yang cukup dikenal adalah jika masuk angin,
minum........ Pola dan bentuk iklan tersebut perlu dikembangkan
untuk produk-produk jamu lainnya.
Semakin banyak industri yang bermain dalam bisnis ini, maka akan semakin
memudahkan konsumen untuk lebih dekat dengan jamu.
Tidak kalah pentingnya adalah rekomendasi dokter
atau tenaga kesehatan. Sebab, pendapat
para ahli kesehatan dapat membuat masyarakat lebih yakin. Tentunya, rekomendasi tersebut bukan dalam
bentuk iklan. Untuk itu, para dokter dan
tenaga kesehatan, juga perlu mendapat informasi ilmiah terkini seputar
penelitian jamu.
Meningkatkan penerimaan konsumen
Saat ini, sebenarnya adalah waktu yang tepat untuk
meningkatkan penerimaan jamu, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga
internasional. Oleh sebab itu, selain
memperkuat bukti ilmiah, stakeholder jamu juga perlu memperhatikan faktor lain
untuk lebih mempopulerkan jamu. Berikut
adalah beberapa faktor penunjang yang dapat mendukung kesuksesan jamu:
- Kepraktisan
Semakin banyaknya konsumen yang bekerja -apalagi
ditambah tingginya tingkat kemacetan, membuat konsumen membutuhkan produk yang
makin praktis, baik cara penyajian, penyiapan, maupun konsumnsinya. Oleh sebab itu, jamu sebaiknya ready to
eat/drink (siap konsumsi) atau ready to serve (siap saji). Faktor inilah yang juga membawa kesuksesan
jamu untuk penderita atau pencegah masuk angin.
Konsumen bisa langsung mengonsumsinya, tanpa repot. Selain itu, ada juga minuman asam jawa yang
dikemas dalam aseptic packaging.
Tentu saja, inovasi tersebut memberi kemudahan bagi konsumen.
- Perkembangan pangan fungsional
Perhatian konsumen terhadap kesehatan berkembang
dengan pesat. Industri pangan melihat
potensi tersebut dengan meluncurkan produk pangan fungsional. Oleh sebab itu, perlu juga dikembangkan
produk jamu, yang didesain bukan untuk mengobati, tetapi lebih untuk memberikan
manfaat kesehatan atau fungsi tertentu dalam tubuh -misalnya untuk meningkatkan
kadar antioksidan dalam tubuh atau mendukung kekebalan tubuh. Hal ini sangat mungkin, mengingat banyak
produk jamu yang secara turun temurun memang dikonsumsi sehari-hari, bukan
sebagai obat. Contoh paling baik untuk
jenis ini adalah asam jawa. Selain
manfaatnya, asam jawa juga memenuhi kriteria dari segi rasa, yakni nikmat dan
menyegarkan.
- Teknologi
Dukungan teknologi akan menjadi sangat vital untuk
mempertahankan mutu dan keamanan jamu.
Dengan teknologi yang tepat, produk jamu bisa didesain menjadi lebih
praktis, aman, memiliki umur simpan lebih lama, namun tetap berkhasiat.
- Ramah lingkungan
Walau belum terlalu bergaung di Indonesia, tren
ramah lingkungan akan menjadi sangat penting untuk memperkenalkan jamu hingga
tingkat internasional. Sehingga, pola
penanaman, teknologi, dan kemasan yang ramah lingkungan akan menjadi keuntungan
tersendiri untuk mempromosikan Jamu Indonesia.
- Pemasaran & distribusi
Hal terpenting lainnya adalah pola pemasaran dan
distribusi. Apalagi untuk Indonesia,
yang bentuk negaranya berupa kepulauan.
Harus dipastikan, jamu tersedia di pasaran. Oleh sebab itu, peran industri sangat penting
untuk hal ini. Selain memastikan
ketersediaan, perlu juga memperhatikan jaminan mutu dan keamanan selama distribusi
-termasuk penyimpanan. Tujuannya adalah,
agar produk diterima konsumen sesuai dengan kualitas yang dijanjikan.
Fokus dalam Pengembangan & Promosi
Indonesia memiliki kekayaan warisan budaya yang
cukup fantastis, termasuk jamu. Hampir
setiap etnis di Indonesia memiliki formulasi jamu-nya masing-masing, karena
jamu sangat erat kaitannya dengan alam. Pengembangan jamu
biasanya berhubungan dengan potensi alam masing-masing daerah.
Namun demikian, tampaknya akan sangat sulit bagi
Indonesia untuk menggali seluruh warisan jamu tersebut. Oleh sebab itu, sebaiknya pengembangan jamu
dilakukan secara bertahap.
Berkaca pada kuliner, dimana Pemerintah menetapkan
30 ikon kuliner Nusantara. Alangkah
bijaksananya, jika untuk obat tradisional juga dipilih ikon jamu
Nusantara. Jumlah dan jenisnya
ditentukan berdasarkan kemampuan Pemerintah dan dukungan stakeholder
terkait. Dengan jumlah tersebut,
Pemerintah fokus untuk melakukan riset mengenai khasiat dan keamanannya. Setelah itu, merancang produksi dan menetapkan
standarnya.
Berdasarkan standar dan bukti ilmiah yang kuat,
Pemerintah kemudian bisa mempromosikannya ke dunia International sebagai
Traditional Indonesian Medicine, dengan nama "Jamu". Salah satu contoh hasil penelitian yang perlu
ditindak lanjuti, karena sangat erat dengan perhatian konsumen dunia adalah Potensi Ekstrak Daun Asam
Jawa sebagai antiobesitas (Pradono, dkk. 2011).Sebab saat ini, dunia cukup dikhawatirkan dengan angka
obesitas yang cukup tinggi. Terjadinya
obesitas tersebut meningkatkan risiko serangan penyakit degeneratif.
Dengan
fokus tersebutlah, Pemerintah dan Industri bisa mengalokasikan potensi secara
tepat dan berkualitas. Sudah saatnya
jamu Indonesia juga dinikmati oleh dunia.
Referensi
[Kemenkes RI]. 2010.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi
Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.
Pradono, Dyah Iswantini.,
Latifah Kosim Darusman., dan Al Susanti. 2011. Inhibisi Lipase Pankreas secara
In Vitro oleh Ekstrak Air dan Etanol Daun Asam Jawa (Tamarinds indica)
dan Rimpang Kunci Pepet (Kaempferiae rotundae). Jurnal Natur Indonesia
13(2): 146-1154 diunduh di http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal/107-inhibisi-lipase-pankreas-secara-in-vitro-oleh-ekstrak-air-dan-etanol-daun-asam-jawa-tamarindus-indica-dan-rimpang-kunci-pepet-kaempferiae-rotundae pada 31 Juli 2013
Referensi gambar